Petani dan Sawah

Ada satu masa dimana mayoritas penghuni pulau Bali adalah petani. Bukan sembarang petani, tetapi mereka adalah orang-orang hebat dibidang pertanian. Jejak pertanian Bali dapat dilacak hingga awal masehi. Arkeolog menemukan alat-alat pertanian kuno yang terkubur dari masa lalu di desa Sembiran, salah satu desa tua di Bali. Praktik bertani masyarakat Bali kuno dapat dijumpai dalam sebuah prasasti yang bertarikh 882. Supratikno Raharjo dalam buku Sejarah Kebudayaan Bali menyebutkan dalam Prasasti Sukawana ditemukan kata huma, yang berarti sawah, sebagaimana dikutip oleh majalah Historia.


Kontur pulau Bali yang berbukit ditaklukan dengan membuat lahan berundak sehingga membuatnya menjadi petak-petak berbidang datar yang memungkinkan air menggenang sehingga dapat ditanami padi. Pengelolaan pengairan ditemukan dalam Prasasti Trunyan bertarikh 891. Dalam prasasti tersebut, diketemukan kata 'serdanu' yang berarti kepala urusan air danau. Jadi pada masa itu masyarakat Bali diperkirakan telah mengenal sebuah bentuk tata kelola air untuk persawahan. Dalam Prasasti Bebetin (896) dan Prasasti Batuan (1022) bahkan menjelaskan tentang ada tiga kelompok pekerja khusus terkait bidang persawahan, salah satunya adalah undagi pangarung dengan spesialisasi keahlian membuat terowongan air. Kata ini (undagi pengarung) masih dipakai dalam organisasi subak modern sehingga Raharjo dapat menarik kesimpulan bahwa subak telah ada sejak akhir abad ke-9.

Dalam buku 'Subak", Ketut Setiawan, sang pengarang menilai kata Subak sebagai bentuk modern dari kata suwak, yang berasal dari dua kata "su" dan "wak". Su berarti baik dan wak berarti pengairan sehingga dapat diartikan suwak adalah sistem pengairan yang baik. Keunikan sistem tata kelola pengairan sawah Bali yang dikenal dengan istilah subak ini memang sungguh luar biasa. Bahkan telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia yang dicatatkan oleh UNESCO, organisasi dunia di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Namun seiring dengan perkembangan jaman, tantangan yang dihadapi oleh mereka yang setia dengan profesi sebagai petani sangatlah berat. Tidak saja karena minimnya dukungan dari pemerintah namun juga semakin sedikit anak muda Bali yang bersedia meneruskan profesi orang tua mereka yang petani karena di mata anak muda, menjadi petani itu berat dan tidak bergengsi, begitu menurut mereka.

Perkembangan pariwisata yang demikian pesat banyak membuka peluang lapangan kerja baru dan penghasilan yang didapat dari bekerja di bidang pariwisata nampaknya lebih menjanjikan sehingga lebih menarik bagi kaum muda.

Jika pertanian ditinggalkan, tentu sawah dan ladang akan mengering. Lambat laun sawah akan beralih fungsi menjadi sarana akomodasi, restoran, tempat belanja para wisatawan atau yang lainnya. Padahal sawah Bali adalah salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk datang berbondong-bondong menikmati alam Bali. Keindahan sawah yang berundak ataupun yang terhampar sejauh mata memandang dengan latar belakang kegungan gunung-gunung yang berdiri kokoh di kejauhan telah membuat banyak orang jatuh cinta kepada Bali.

Aktivitas petani dari mulai menanam hingga saat panen padi yang telah menguning, memberikan nafas kehidupan sawah Bali.       

Sawah Bali bukan melulu tentang keindahan visual atau sebagai lahan sumber pangan semata.  Sawah adalah bagian dari budaya dan sawah adalah budaya itu sendiri. Ritual religius dengan pelaksanaan yang kental dengan nuansa adat dan tradisi adalah bagian dari sawah dan petani Bali. Maka bisa dipastikan beberapa upacara keagamaan dan tradisi yang terkait dengan sawah akan hilang bersamaan dengan hilangnya sawah Bali.

Ritual keagamaan seperti upacara biyu kukung, yang merupakan bentuk ucapan syukur petani kepada sang maha pencipta pemberi kehidupan, pastilah tidak akan ada tanpa sawah.  Lelakut dan sunari, sebuah kreasi seni yang lahir guna menjawab tantangan alam untuk mengusir burung yang menyerbu sawah petani yang siap panen pun akan hilang dan jikapun ada maka lelakut dan sunari hadir hanya sebagai hiasan semata dan kehilangan fungsinya yang utama buah karya seniman petani Bali. Maka bagi Bali, hilangnya sawah akan berarti hilangnya juga serpihan budaya yang menyertainya. Mengingat pentingnya keberadaan sawah Bali dalam budaya Bali, kita harapkan alih fungsi lahan persawahan mendapat perhatian yang lebih dari stake holder Bali: pemerintah dan masyarakatnya.
   




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda