Nyepi Gumi Bali

Jauh sebelum dunia berkembang semodern saat ini dimana umat manusia disibukkan oleh segala urusan dunia yang seakan tak ada habisnya, para leluhur dengan bijaksana telah melihat perlunya kita jeda sejenak dari segala aktivitas duniawi. Nafsu adalah sebuah api dalam hasrat manusia yang perlu dikendalikan. Manusia secara umum perlu dibimbing dan selalu ‘diingatkan’ untuk
menyediakan waktu untuk kontemplasi.

Hari pertama setelah bulan gelap di bulan yang ke-sepuluh oleh para leluhur telah ditetapkan sebagai hari yang baik untuk melakukan jeda dari kegiatan sehari-hari sehingga memberi ruang untuk berkontemplasi sebelum menjalani hari-hari di tahun yang baru. Maka sejatinya, Nyepi merupakan sebuah perayaan pergantian tahun dalam kalendar Saka yang menggunakan edar bulan dan matahari sebagai dasar perhitungan siklus waktu. 

Mengapa tahun baru Saka dimulai di bulan kesepuluh? Ada beberapa pendapat akan hal ini, salah satunya menurut Drs. Wayan Wirta, yang berpendapat bahwa secara filosofis Hindu, 9 merupakan angka terbesar dalam sistim bilangan, sedangkan angka 10 merupakan pengulangan dari angka 1 dan 0 yang digabungkan. Sehingga siklus satu tahun Saka berakhir di bulan mati kesembilan dan memulai perhitungan baru dari hari pertama di bulan kesepuluh.

Karena umat Hindu di berbagai belahan dunia yang lain nampaknya tidak merayakan Nyepi sebagaimana halnya umat Hindu di Bali bisa disimpulkan bahwa Nyepi bukanlah merupakan perayaan keagamaan Hindu yang universal. Nyepi merupakan perayaan keagamaan yang berkelindan dengan kearifan masyarakat lokal Bali. Nyepi merupakan pengejawantahan laku spritual leluhur orang Bali. 

Diluar perayaan Nyepi di awal tahun baru Saka, kearifan lokal tentang perlunya manusia jeda untuk berkontemplasi telah dikenal di beberapa desa di Bali yang dikenal dengan istilah nyepi desa, seperti misalnya tradisi desa pakraman Banyuning, Buleleng yang melaksanakan penyepian di bulan purnama ke-5. Di desa Kintamani kabupaten Bangli juga mengenal tradisi ‘nyepi desa’. Di kabupaten Karangasem ‘nyepi desa’ juga telah dilaksanakan secara turun temurun seperti di desa pakraman Kesimpar, desa pakraman Tanah Ampo, Manggis dan desa Datah. 

Selain Nyepi desa, para petani Bali juga memiliki tradisi penyepian khusus di lahan pertanian seperti misalnya tradisi ‘nyepi abian’ di desa Belatungan, ‘nyepi subak/sawah’ di desa Bangal, Selemadeg atau di desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan.

Tradisi penyepian juga dikenal di kalangan para bendega/nelayan, yaitu tradisi ‘nyepi segara’. Pada setiap bulan purnama ke empat, para nelayan melaksanakan ‘nyepi segara’. Tidak melaut dan melakukan aktivitas apapun di perairan Nusa Penida. 

Maka perayaan tahun baru Saka itupun identik dengan keheningan. Merehatkan segala aktivitas rutin yang bersifat “keduniaan”. Bahkan untuk mereka yang tidak tertarik dengan kerohanian, Nyepi bisa dimanfaatkan untuk merasakan kebersamaan yang intens dengan keluarga / orang-orang terdekat di rumah. Atau bagi mereka yang sendiri atau tidak sedang bersama keluarga, Nyepi adalah hari dimana kita bisa melepaskan diri sejenak dari carut marut urusan dunia luar.

Jika saja kita mau memperluas makna Nyepi bukan hanya untuk manusia saja namun juga bagi alam tentu warisan tradisi penyepian sungguh luar biasa. Manusia telah merumuskan hak-hak bagi dirinya sendiri yang akan menjadi pembenaran dalam melakukan suatu tindakan namun mereka mungkin tidak pernah terbersit untuk memberi penghormatan kepada alam dalam bentuk memberikan hak-hak kepada alam untuk jeda sejenak setelah sepanjang waktu dieksploitasi demi kepentingan / keuntungan manusia. 

Seandainya saja kita menjadikan Nyepi untuk semesta alam, bukan hanya untuk manusia penghuni pulau Bali, namun untuk pulau Bali itu sendiri maka Nyepi di pulau Bali akan paripurna. 

Selamat merayakan keheningan dan berkontemplasi !!! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda