Kawin Lari Dalam Budaya Bali

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam sebuah perjalanan kehidupan manusia yang berbudaya. Setiap budaya memiliki tata cara, prosesi dan ritual yang berbeda namum secara umum ada 2 situasi dalam sebuah perkawinan yaitu (1) perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak dan (2) perkawinan yang tidak disetujui baik oleh salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak. Kalau sebuah perkawinan disetujui oleh kedua belah pihak, tentu pelaksanaannya mudah saja,
cuma perlu kesepakatan bersama tentang tata cara yang akan dilaksanakan. Bagaimana dengan sebuah perkawinan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak?! Bagaimana sebuah komunitas budaya menyikapi hal ini?!

Di Bali, dimana adat dan budaya masih menjadi norma dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, perkawinan bukan semata urusan pribadi dan hanya membawa akibat pada urusan keperdataan saja seperti tentang hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak dan sebagainya namun juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, sistim pewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, hak dan kewajiban dalam masyarakat adat dan sebagainya. Perkawinan membawa konsekwensi perubahan status dan kedudukan seseorang dalam hukum adat, seperti hubungan dengan keluarga sewaktu masih gadis/bujang berbeda dengan setelah menikah, hubungan dengan pemujaan leluhur, hak dan kewajiban di masyarakat dan sebagainya.

Dalam masyarakat Bali, secara garis besar ada dua jenis perkawinan, yaitu perkawinan yang disetujui oleh para pihak yang bersangkutan, disebut dengan cara memadik (meminang) dan perkawinan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak, disebut dengan cara ngerorod (kawin lari). Perkawinan dengan jalan memadik (meminang) tentu adalah yang terbaik karena perkawinan tersebut menandakan adanya persetujuan dari kedua belah pihak sehingga prosesi perkawinan dapat dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang berlaku. Sementara jika sebuah perkawinan dilakukan dengan cara (terpaksa) ngerorod (kawin lari) itu karena disebabkan karena tidak ada persetujuan dari salah satu pihak terutama oleh pihak keluarga perempuan.

Ada banyak hal mengapa sebuah perkawinan tidak disetujui oleh pihak keluarga perempuan, diantaranya terkait dengan masalah perbedaan wangsa atau masyarakat umum menyebutnya kasta. Pihak laki-laki berasal dari wangsa sudra sementara sang perempuan berasal dari wangsa ksatrya dimana dalam sistem adat budaya Bali status/kedudukannya lebih tinggi. Wangsa ini bersifat lineal yang didapat/diwariskan berdasarkan garis keturunan melalui kelahiran. Masyarakat Bali menganut sistim kekerabatan patrilineal, yaitu mengambil garis keturunan dari pihak ayah yang akan berpengaruh dalam hal pengaturan hak dan kewajiban adat, pewarisan dan lain lain, sehingga jika seorang gadis dari keturunan wangsa ksatrya menikah tentu status ksatrya yang dibawa dari lahir akan mengikuti status wangsa sang suami karena bagi wanita yang telah menikah, bukan saja secara fisik ikut suami namun juga dalam hal sistim kekerabatan, status, kewajiban adat dan lain-lain. 

Seorang anak perempuan yang belum menikah memiliki hak dan kewajiban dalam keluarga maupun dalam masyarakat adat, misalnya hak untuk menempati/tinggal di rumah orang tua, memperoleh layanan pengurusan kematian/penguburan di kuburan milik desa adat dan sebagainya. Hak-hak ini akan turut lepas ketika yang bersangkutan menikah. Setelah menikah, hak-hak seperti yang disebutkan sebelumnya berpindah menjadi tanggungan keluarga/desa adat dimana sang suami berasal. Jadi perkawinan dalam adat dan budaya masyarakat Bali bukan hanya melulu soal hubungan dua orang manusia sebagai pribadi tapi juga akan melibatkan hal-hal terkait dengan sistim kekeluargaan, kekerabatan, masyarakat adat dan sebagainya.

Urusan perasaan saling menyukai antara seorang gadis dengan jejaka tentu tidak bisa dibatasi hanya boleh terjadi pada mereka yang berasal dari status sosial yang sama. Urusan cinta bisa melintasi batas budaya, norma maupun tradisi. Perkawinan merupakan sebuah peristiwa besar dalam hidup seseorang dan khusunya di Bali perkawinan tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.

Sebuah perkawinan yang tidak disetujui oleh pihak perempuan bisa karena memang pihak keluarga tidak suka dengan berbagai pertimbangan, tidak rela jika anak gadisnya menikah dengan sang laki-laki pilihannya atau sebenarnya pihak keluarga tidak kuasa untuk tidak setuju namun berhubung perbedaan wangsa sehingga pihak keluarga perempuan menghadapi perasaan gamang yang tidak bisa dihindari karena jika pernikahan dilaksanakan dikhawatirkan bisa melukai perasaan pihak keluarga besar. Maka ngerorod (kawin lari) merupakan salah satu solusi cerdas dalam sebuah sistim sosial masyarakat adat yang berbudaya. Boleh dikatakan solusi cerdas karena dengan ngerorod (kawin lari) maka pihak keluarga perempuan yang tidak setuju tidaklah terlalu kehilangan muka. Mereka sudah melarang/tidak mengijinkan dan jika pernikahan itu akhirnya terjadi tentu tanpa persetujuan mereka dan itu sudah diluar kuasa mereka.

Menjaga marwah (dignity) keluarga adalah sebuah keharusan. Oleh karena itu, bahkan dalam hal ngerorod, telah diatur tata caranya. Kawin lari / ngerorod bukan berarti pihak laki-laki bisa seenaknya melarikan sang wanita begitu saja tanpa peduli / menafikan keberadaan keluarga pihak perempuan. Tata cara ngerorod yang sesuai dengan adat dan budaya Bali itu harus mengikuti suatu rangkaian prosesi, jika tidak tentu perkawinan itu bukanlah kawin lari sebagaimana yang dimaksud ngerorod dalam budaya Bali.

Salah satu hal penting yang menandai perkawinan ngerorod adalah adanya pemberitahuan oleh pihak keluarga laki-laki dengan didampingi oleh perwakilan desa adat dari pihak laki-laki, karena setelah perkawinan, sang istri akan menjadi bagian dari masyarakat adat dimana sang suami tinggal. Mereka mendatangi rumah keluarga pihak perempuan untuk meminta maaf karena telah melarikan anak gadis mereka dan sekaligus memberitahu bahwa mereka akan melaksanakan ngerorod. Pihak keluarga perempuan boleh datang jika berkenan atau bahkan ikut berembug tentang teknis pelaksanaannya. Sebelum dilaksanakan upacara perkawinan, pihak keluarga perempuan bahkan boleh datang untuk menanyakan langsung kepada putri mereka apakah ngerorod ini atas kehendak sang putri sendiri dan bukan karena dipaksa. Jika perkawinan terjadi karena dipaksa maka pihak keluarga perempuan berhak untuk membawa pulang putri mereka dan perkawinan ngerorod pun dibatalkan. Seringkali pihak perempuan tidak menggunakan haknya untuk menanyakan kepada putrinya apakah ngerorod ini terjadi dengan sukarela atau tidak namun hal yang terpenting dari prosesi ini adalah kedatangan pihak laki-laki untuk minta maaf dan memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa akan dilaksanakan perkawinan untuk putra dan putri mereka. Hal ini menunjukkan kearifan lokal masyarakat yang berbudaya dalam mencari sebuah solusi dengan tetap menjaga kehormatan kedua belah pihak terutama pihak keluarga perempuan. Jadi perkawinan ngerorod bukan dilaksanakan dengan begitu saja dan mengabaikan hak/perasaan dari keluarga perempuan.

Jadi, jika langkah-langkah diatas tersebut tidak dilakukan maka sebuah pernikahan dalam perspektif budaya tidak bisa disebut dengan ngerorod sebagaimana halnya dalam budaya Bali melainkan hanya sebatas kawin lari biasa saja yang terlepas dari adat dan budaya Bali. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda