Ogoh Ogoh, Buta Kala yang Mewujud



Setiap tahun menjelang perayaan hari Nyepi, ribuan sekehe teruna teruni (kelompok muda-mudi) di Bali sibuk membuat ogoh-ogoh, patung besar yang terbuat dari
anyaman bambu, kertas dan bahan pendukung lainnya. Sejatinya ogoh ogoh merupakan simbol dari makhluk dunia roh yang merepresentasikan spirit negatif pengganggu manusia, maka tak mengherankan jika bentuk ogoh ogoh digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan.

Figur ogoh-ogoh biasanya terinspirasi dari sebuah fragmen cerita, baik cerita dalam epos mahabrata maupun dalam cerita klasik masyarakat Bali lainnya. Walau terkadang ada satu – dua kelompok yang membuat figur ogoh ogoh terinspirasi dari fenomana kekinian dalam masyarakat.   

Nyoman Sukra, Ketua PHDI Kabupaten Bangli mengatakan bahwa ogoh-ogoh lebih merupakan sebagai aktualisasi seni / kreativitas masyarakat, khususnya anak muda dalam menyemarakkan kegiatan keagamaan, karena dalam sastra, tidak ada kewajiban untuk membuat ogoh-ogoh yang diarak pada saat malam pengerupukan. Tetapi, parisada selalu menghimbau agar pembuatan ogoh-ogoh mengikuti etika, estetika dan tidak lepas dari tatwa. Memperhatikan etika maksudnya agar bentuk / wujud ogoh-ogoh tidak menyinggung perasaan orang lain. Sesuai dengan estetika ogoh-ogoh harus dibuat dengan indah dan memperhatikan tatwa bahwa ogoh-ogoh dibuat sesuai dengan tujuannya yaitu untuk nyomia bhutakala. Demikian Nyoman Sukra menambahkan.     

Ada beberapa versi asal muasal kehadiran ogoh ogoh di Bali. Mulai dari yang mengaitkannya jauh kebelakang--- sejak jaman Dalem Balingkang, dimasa pemerintahan raja Jaya Pangus yang berkuasa pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi, dimana saat itu, kreasi bentuk sejenis ogoh-ogoh dihadirkan pada saat upacara Pitra Yadnya. Ada pula yang menyebutkan bahwa ogoh ogoh terinspirasi dari tradisi Ngusaba Ndong-Nding di desa Selat Karangasem, namun tidak mudah melacak bukti pendukung untuk kedua versi tersebut diatas.

Dikutip dari laman metrobali yang mewawancarai I Gusti Ngurah Sudiana, ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, ogoh-ogoh mulai diarak keliling desa pada tahun 1960an. Itupun hanya di beberapa lokasi saja. Barulah pada tahun 1986 ketika Nyepi ditetapkan sebagai hari raya nasional, arak-arakan ogoh-ogoh semakin marak. Denpasar adalah kota yang mengawali arak-arakan ogoh-ogoh secara besar-besaran diikuti kemudian oleh kota-kota lain di kabupaten Gianyar, Badung, Tabanan, Buleleng, Karangasem, Bangli, Klungkung dan Jembrana.

Sumber lain tentang asal muasal ogoh-ogoh adalah datang dari Nyoman Mahardika, yang menuliskan di blog pribadinya (ogohogoh.blogspot.id) tentang pengalaman masa lalunya. Di desa tempat tinggalnya di Jembrana, selesai melaksanakan megegobok atau biasa disebut juga mebuwu-buwu, yaitu mengelilingi rumah sambil membawa api dari daun kelapa kering, obor, membuat bunyi-bunyian dan memercikkan air tirta, para muda-mudi kemudian melanjutkannya dengan berjalan menuju jalan utama di desa masing-masing untuk kemudian bergabung dengan rekan sejawat dari desa tetangga. Gabungan para muda-mudi dari beberapa desa sambil membawa obor membentuk semacam pawai yang menjadi tontonan penduduk setempat. 

Pada malam menjelang Nyepi di tahun 1981, Nyoman Mahardika menyaksikan ditengah pawai obor berlangsung, ada sekelompok pemuda dari desa Batu Agung yang mengusung bangku panjang yang dibuat menyerupai keranda, layaknya mengusung mayat orang mati menuju kuburan namun sambil melakukan gerak gerik teatrikal yang mengandung kelucuan. Penduduk desa yang menyaksikan aksi spontan ini nampaknya sangat terhibur demi menyaksikan tingkah polah para anak muda ini. Terinspirasi dari hal ini, menjelang hari raya Nyepi tahun 1982, Nyoman Mahardika dibantu Ketut Wirata, seorang seniman dari desa Yeh Embang, membuat semacam patung yang terbuat bambu, merang, kulit kelapa, kain dan bahan ringan lainnya dengan rupa menyerupai wujud buta kala, sebagai simbol keburukan yang akan di-somia (dinetralisir dengan cara dibakar) setelah diarak keliling pada saat malam pengerupukan. Maka pada tahun-tahun berikutnya, banyak kelompok pemuda dari desa sekitar yang juga turut serta memeriahkan malam pengerupukan dengan cara berkreasi membuat patung berbahan bambu, merang dan sebagainya dengan bentuk yang semakin bervariasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda