Mekotekan, Tradisi Menolak Bala dari Desa Munggu

Desa Munggu menjelang sore, ratusan laki-laki tua muda berjalan beriringan menuju Pura Desa. Masing-masing membawa sebatang kayu pohon pulet
sepanjang kira-kira 3,5 meter. Hari ini, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, masyarakat dari 12 banjar di desa Munggu, kabupaten Badung akan melaksanakan Mekotekan, salah satu tradisi untuk menolak bala. Para peserta mengawali ritual dengan percikan air suci oleh pemangku, seraya berdoa memohon kelancaran jalannya tradisi mekotekan.
Kumpulan para laki-laki yang mengenakan pakaian adat Bali tersebut lalu membuat formasi lingkaran, dan membentuk beberapa kelompok. Ujung atas potongan kayu yang dibawa masing-masing berusaha ditempelkan satu dengan lainnya sehingga mengerucut membentuk sebuah gunungan. Salah seorang pemuda kemudian mendaki gunungan yang terbentuk dari gabungan potongan kayu tersebut, berdiri dipuncaknya lalu menari. Sementara itu, kelompok lainnya juga melakukan hal yang sama dan mereka akhirnya mempertemukan kedua pemuda tadi untuk “bertarung” di udara  dengan cara gunungan kayu didoyongkan/ diarahkan ke tempat lawan. Pertarungan otomatis akan berhenti ketika salah satu atau kedua formasi gunungan kayu tersebut roboh berantakan dan kadang membuat sang pemuda terjepit diantara batangan kayu. Walaupun nampak cukup berbahaya, namun semua dijalani dengan riang gembira karena ini merupakan tradisi turun temurun yang telah dilakukan sejak tahun 1934 walau baru mulai dilestarikan sejak 1946.
Ada dua versi mengenai awal mula tradisi Mekotekan yang dilakukan oleh  masyarakat desa Munggu sebagaimana pernah dipublikasikan oleh koran NusaBali. Menurut versi Ida Pedanda Gede Sidemen Pemaron, sejarah mekotekan terkait dengan keberadaan Raja IV Cokorda Nyoman Munggu dari Puri Agung Munggu yang memerintah rakyat Mengwiraja. Pada suatu hari sungai Yeh Penet meluap dan menyebabkan banjir bandang sehingga menghanyutkan sebuah pelinggih hingga tersangkut pada akar pohon kamboja (pohon jepun sudamala). Hal ini diketahui oleh sang raja yang akhirnya memerintahkan untuk mengangkat dan menempatkan pelinggih tersebut ke tempat yang layak. Pada saat bersamaan, ada salah seorang penduduk desa Munggu yang kesurupan dan mengaku sebagai utusan dari Ida Betari Ulun Danu Beratan dan menitahkan untuk menyelamatkan pelinggih tersebut dan membangun sebuah pura sebagai stana Ida Betara Luhur Sapu Jagat untuk menjaga keselamatan rakyat Mengwiraja.
Atas petunjuk yang disampaikan melalui orang yang kesurupan itu, disebutkan bahwa pada waktu akan mulai meletakkan batu pertama (nasarin) Pura Luhur Sapuh Jagat akan ditemukan segumpalan besi untuk dijadikan senjata kerajaan dan batu-batu yang harus dilestarikan ditempat pembanguna pura tersebut.
Pada mulanya, sang raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu tidak percaya namun setelah orang yang kesurupan itu mengambil sebuah tedung dengan panjang kurang lebih 5 meter dan  menancapkan di halaman pura Puseh lalu meloncat keatas tedung , menari sambil menantang Rajabhagawantha.
Dalam suasana hujan lebat disertai angin kencang, raja beserta Ida Bhagawantha Brahmana Munggu, bersama seluruh masyarakat Munggu barulah beliau sadar serta berjanji memenuhi semua petunjuk  yang merupakan pawisik Ida Batara (Sang Hyang Widi Wasa) sehingga orang itu langsung disucikan dijadikan pemangku Pura Puseh.
Setelah melakukan penggalian, benarlah ditemukan bongkahan batu yang berbentuk tamiang, dan juga besi-besi tua yang berbentuk senjata tajam. Maka Cokorda Munggupun memerintahkan seorang pande besi untuk membuat senjata keris dan tombak dari temuan tersebut.
Setelah senjata-senjata yang didapatkan melalui pawisik gaib tersebut dipasupati dan disemayamkan selama tiga bulan, maka pada hari Sabtu Kliwon Kuningan pada Tumpek Kuningan, mulai diperagakan adegan perang-perangan yang diikuti oleh para laki-laki dewasa yang berasal dari seluruh Desa Munggu. Adegan perang-perangan inilah yang kemudian dalam perkembangannya dikenal dengan tradisi Mekotekan.
Sementara itu, versi lain dari sejarah dikemukakan oleh Bendesa Adat Munggu I Ketut Kormi. Dikatakan bahwa tradisi Mekotek yang telah digelar warga Munggu secara turun temurun terkait dengan perjalanan Raja Munggu ke Blambangan untuk berperang dalam rangka perluasan wilayah kekuasaan sang raja. Pada peperangan itu Raja Munggu memperoleh kemenangan.
Dalam perjalanan pulang dari medan perang, bala tentara raja Munggu meluapkan kegembiraannya dengan mengangkat tombak sambil berjalan ke desa hingga tanpa sadar tombak-tombak itu mengenai tubuh beberapa bala tentara hingga menyebabkan luka.
Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka para prajuritnya bisa cepat sembuh dengan cara menggelar ritual Mekotek. Selain itu, jika ritual ini tidak digelar maka bisa penduduk desa Munggu bisa terkena gerubug atau wabah penyakit. Itulah sebabnya masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.
Artikel ini diterbitkan pertama kali di www.eventsindonesia.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda