Makanan dan Peradaban

Kehidupan manusia tak bisa lepas dari keberadaan makanan, karena itu bisa dikatakan bahwa makanan merupakan salah satu penanda peradaban manusia. Manusia dan makanan merupakan dwi tunggal. Tak ada manusia maka tak ada makanan demikian juga sebaliknya. Pada awalnya, manusia merupakan pengumpul makanan. Mereka berburu binatang dan mencari umbi-umbian serta buah-buahan yang dapat dimakan. Pengolahan hewan hasil buruan hanya dengan cara dibakar saja selain dengan cara dimakan langsung (untuk beberapa hewan tertentu). Pada masa ini, pola hidup manusia bisa dibilang hidup untuk makan. Mereka hidup nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dimana sumber makanan lebih mudah ditemui.

Setelah sekian lama menjalani tahapan sebagai pengumpul makanan, manusia mulai menemukan teknik bercocok tanam dan memelihara beberapa jenis hewan yang dapat dijinakkan sehingga mereka dapat memiliki persediaan makanan yang dapat mereka makan kapan saja mereka mau. Tahapan ini merupakan sebuah titik revolusi kehidupan manusia di dunia. Bercocok tanam membuat manusia terikat dengan tempat dan waktu selain juga bisa mengusahakan persediaan makanan untuk keluarga dan kelompoknya dengan lebih terencana dan terukur.


Pada masa bercocok tanam inilah, cikal bakal kebudayaan manusia mulai muncul. Karena tidak disibukkan lagi akan keharusan berburu setiap hari demi mendapatkan makanan untuk hari itu, manusia mulai lebih sering berkumpul bersama dengan anggota keluarga dan kelompoknya. Maka berdasarkan kajian para ahli sejarah, masa bercocok tanam merupakan masa awal lahirnya kebudayaan manusia di beberapa bidang, salah satunya adalah terkait dengan makanan.



Seiring dengan berkembangnya tingkat kebudayaan manusia yang lebih tinggi, cara manusia mengolah makananpun lebih bervariasi. Tidak hanya melulu dibakar atau dipanggang melainkan juga digoreng, direbus, diasap dan sebagainya. Maka bisa dikatakan, semakin maju peradaban manusia, semakin beragam pula makanan dan metode pengolahannya.


Semakin lama manusia semakin menguasai teknik bercocok tanam dan juga telah mengetahui cara menjinakkan hewan liar untuk dipelihara sebagai hewan ternak. Hal ini semakin menguntungkan manusia, karena manusia bisa mengusahakan persediaan makanan. Karenanya manusiapun bisa memiliki stok makanan yang berlimpah. Hal ini membuat manusia mulai memikirkan teknologi untuk mengawetkan makanan. Maka lahirlah beberapa teknik untuk mengawetkan makanan. Mulai dari yang tahan untuk beberapa hari hingga tahan beberapa minggu.  Penggunaan garam maupun asam cuka untuk mengawetkan makanan merupakan penemuan manusia yang terdorong atas dasar kebutuhan hidupnya.


Cita rasa sebuah bangsa akan makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Cara memasak dan ketersediaan bahan baku merupakan dua faktor utama yang membuat suatu masakan berbeda antara yg satu dengan lainnya. Selain cita rasa, karakter suatu bangsapun dapat dilacak jejaknya melalui makanannya.  


Indonesia terdiri dari banyak pulau dan suku bangsa. Ketersediaan bahan baku di masing-masing wilayah berbeda. Hal ini tentu membuat kuliner Indonesia sangat beragam dengan berbagai cita rasa yang khas. Cara memasak antara satu daerah dengan yang lainnya juga berbeda. Ada beberapa daerah yang memiliki masakan yang untuk membuatnya diperlukan waktu yang sangat lama sekali, bisa hingga lebih dari 24 jam karena menggunakan panas api yang sangat minimal, seperti masakan Gudeg dari Jogjakarta atau Betutu dari Bali. Sementara banyak jenis masakan lain hanya memerlukan waktu pengolahan yang singkat, berkisar antara 15 menit hingga setengah jam saja.


Berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum, baik di Indonesia ataupun di Bali khususnya, urusan memasak merupakan tugas para perempuan: ibu rumah tangga dan anak-anak perempuan dalam keluarga. Kecuali beberapa jenis masakan yang terkait dengan satu upacara keagamaan, biasanya dikerjakan oleh kaum laki-laki. Misalnya salah satu jenis makanan khas Bali yang bernama lawar. Mungkin karena memerlukan banyak tenaga dalam membuat lawar, mulai dari pemotongan hewan (biasanya babi atau bebek atau ayam) hingga menyiapkan beberapa jenis sayur seperti buah nangka muda, daun pakis, buah pepaya muda, parutan kelapa dan beberapa jenis sayur lainnya, maka pihak laki-laki dianggap sebagai pihak yang lebih pas untuk tugas membuat lawar.


Lawar biasanya dibuat ketika ada upacara, baik upacara di pura maupun di rumah. Selain untuk keperluan sembahyang, lawar dibuat untuk konsumsi para kerabat dan tetangga yang membantu pelaksanaan upacara, oleh karena itu, untuk satu kali racikan, lawar dibuat cukup untuk konsumsi lebih dari 30 orang hingga 100 orang atau bahkan lebih tergantung dari berapa banyak orang yang terlibat untuk mempersiapkan upacara tersebut. 


Lawar diberi nama sesuai dengan bahan yang dipakai untuk membuatnya, seperti misalnya lawar yang menggunakan nangka muda maka lawar tersebut dinamakan lawar nangka, lawar yang menggunakan daging bebek, maka lawar tersebut dinamakan lawar bebek dan sebagainya. Meski awalnya lawar dibuat untuk keperluan upacara keagamaan, namun saat ini lawar telah menjadi bagian dari kuliner Bali sehari-hari yang bisa kita jumpai baik di warung maupun restoran di Bali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda