Online Taksi

Euforia aplikasi pemesanan taksi online sedang melanda banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Para pengguna / konsumen taksi merasa sangat diuntungkan dengan keberadaan aplikasi ini. Namun selain dampak positif, tentu dampak negatifnya pun harus dipahami sehingga bisa diantisipasi.

Kehadiran teknologi sesungguhnya menjadi alat untuk liberalisasi ekonomi menjadi semakin sulit dikontrol. Jika sebelumnya setiap negara memiliki kewenangan penuh untuk mengatur sistem transportasinya, maka dengan dalih kemajuan teknologi, satu orang (pemilik uber) bisa mengacak2 sistem di sebuah negara yg sudah mapan, dan bisa mengadu domba para driver satu bangsa untuk saling serang.

Ditambah dengan iming2 harga "murah", secara tidak sadar, banyak yang terjebak menjadi supporter "tuan Uber" yg namanya saja kita tidak tahu, apalagi kenal secara pribadi. Tambahan lagi, iming-iming harga murah belumlah terbukti. Jika saat ini konsumen membayar murah untuk ongkos taksi online, itu dikarenakan konsumen tidak membayar tarif yang real, melainkan tarif yang masih disubsidi oleh Uber.

"Sharing Economy" seperti yang diulas Rhenald Kasali tidaklah sepenuhnya benar. Dalam kenyataan, yang terjadi adalah "sharing beban". Jika sebelumnya perusahaan taksi harus membeli mobil jika ingin mendirikan perusahaan jasa transportasi, maka beban itu kini dibagi kepada orang per orang yang ingin menjadi driver. Yang berminat menjadi driver Uber harus membeli mobil sendiri, Uber tidak mau dibebankan akan hal ini (sharing beban). Uber hanya mau "sharing profit" (minta komisi 20%) dari sopir.

Tuan Uber juga tidak mau dibebankan oleh hubungan bos-pekerja, dia lebih suka hubungan tanpa ikatan. Dalam hubungan bos-pekerja, bos tidak bisa semena-mena memecat karyawan karena terikat dengan peraturan ketenagakerjaan yang diatur oleh pemerintah. Tuan Uber tidak mau terikat dengan tetek bengek urusan ketenagakerjaan produk pemerintah Indonesia, mereka hanya ingin para driver (masyarakat Indonesia) memeras keringat - membanting tulang dan menyetor 20% dari hasil kerja mereka.

Jika salah satu sopir Uber tidak bekerja dengan baik, maka dari kantor pusatnya yang jauh di USA sana, Uber hanya tinggal menon-aktifkan aplikasi di HP sopir, maka selesailah sudah. Gampang buat Uber dan sang sopir tidak bisa mengajukan keberatan karena hubungan mereka cuma sebatas mitra kerja yang setiap saat bisa berhenti tanpa kompensasi.

Kemajuan teknologi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari, namun kehadiran pemerintah mutlak diperlukan untuk membendung serbuan "kolonialisme" model baru yang menumpang kemajuan teknologi. Pemerintah harus menjadi "god father" bagi rakyatnya. Misalnya, pemerintah harus cepat tanggap dan segera membuat aplikasi sendiri lalu membagikannya ke perusahaan-perusahaan jasa transportasi untuk digunakan sehingga serbuan fenomena Uber bisa diredam.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kidung Tradisional Sunda

Kembali Digelar Setelah 500 Tahun Karya Agung di Pura Gelgel